Tarbiyah Suka Mengajar: Berganti Tahun Dengan Hangatnya Peluk Dan Dingin Yang Menusuk
Kabut menyelimuti Dieng, Batur, Banjarnegara
Oleh:Adita Az-Zahra Nareswari (Mahasiswa Pendidikan Matematika angkatan 2021)
Desember berbagi cerita tentang pengalaman baru merasakan tinggal dan hidup di hawa dingin Desa Batur, Dieng. Meskipun saya berasal dari Wonosobo yang juga terkenal dingin, udara dingin di Desa Batur tetap tak tertandingi. Namun, dingin itu kemudian dipeluk oleh kehangatan dari warga dan adik-adik Mushola Baitul Jannah. Senyum, tawa, dan antusias mereka membuat kami kelompok TSM ke-5 semakin bersemangat untuk berkegiatan.
Hal lucu terjadi di awal kedatangan kami. Saat perkenalan di mushola, saya bertanya kepada adik-adik “Kegiatan kita mulai dari pukul 09.00 ya, apakah kepagian?” Pertanyaan itu ternyata mengundang tawa mereka, dengan kompak mereka menjawab “Kesiangan Kak!”. Bagi kami mahasiswa, pukul 09.00 adalah waktu yang cukup pagi, bukan?
Kemudian kami menuju ke tempat Bu Anis, ibu kami selama dua minggu ke depan. Sebenarnya kami selalu sangat ingin menjadi anak beliau, bukan hanya karena keramahan dan perhatian ibu, tetapi juga karena masakannya yang luar biasa lezat. Ah, seharusnya ini saya ceritakan di bagian akhir, tetapi saya sudah tidak sabar menceritakan betapa nikmatnya masakan ibu.
Mulailah malam pertama bersama teman-teman TSM. Malam yang begitu menusuk hingga ke tulang belulang. Kami perempuan tidur bersama di posko, beralaskan terpal dan karpet untuk sedikit menghalau rasa dingin. Tapi tetap saja, saya tetap terbangun di tengah malam karena menggigil kedinginan. Jaket tebal dan kaos kaki menjadi penyelamat malam itu. Rasanya seperti tidur di dalam mesin pendingin.
Esok paginya, hawa dingin masih setia menemani, bahkan saat matahari sudah terbit. Ketika cuaca cerah dan matahari bersinar terang menjadi momen langka yang tidak boleh kami lewatkan. Kami sampai berdesak-desakan hanya untuk merasakan sinar matahari menyentuh kulit kami. Air untuk mandi pun seperti air es yang biasanya kita beli di Yogyakarta. Setiap tetes air serasa menghantam tubuh dengan dinginnya. Tapi, meski begitu, kami tetap berusaha mandi sehari sekali. Walaupun pada akhirnya, saya yakin bukan hanya saya yang memilih "mandi bebek" sedikit guyur, cepat selesai, hehe.
Ingat waktu saya bilang kalau kegiatan kami mulai pukul 09.00? adik-adik dengan sangat antusias mulai berdatangan ke posko pukul 07.30. Mereka selalu antusias dan rajin mengikuti kegiatan yang kami adakan. Mulai dari ketika kami meminta mereka membawa kardus dan daun untuk kegiatan daur ulang, berjalan-jalan untuk memilah sampah-sampah yang bisa didaur ulang, melakukan reboisasi, mengikuti lomba, hingga pada akhir kegiatan yakni tadabur alam. Pada saat kegiatan siang pun juga begitu, adik-adik selalu berangkat lebih awal dari yang sudah kami jadwalkan, sampai-sampai saya dan rekan TSM Isfi harus makan di dalam kamar.
Sebagai mahasiswa Pendidikan Matematika, saya mendapat amanah untuk menjadi penanggung jawab pada kegiatan “Matematika Ceria”. Program ini dibuat untuk membelajarkan matematika kepada adik-adik dengan cara yang menyenangkan, interaktif, dan tidak membosankan. Saya merancang pembelajaran yang tidak hanya menarik dan menyenangkan, tetapi juga integratif dengan kehidupan sehari-hari. Tema yang saya pilih adalah “Berbelanja Makanan Tradisional”.
Saya menyiapkan bahan ajar berupa gambar-gambar makanan tradisional beserta daftar harganya. Pembelajaran ini disesuaikan dengan tingkatan kelas mereka, untuk adik-adik TK, mereka belajar untuk menghitung jumlah makanan tradisional yang ada dalam suatu keranjang, serta melakukan penjumlahan dan pengurangan sederhana. Adik-adik kelas 1 dan 2 mereka mempraktikkan kegiatan jual beli dengan menghitung total harga belanja makanan tradisional. Sedangkan untuk kelas 3 dan 4, adik-adik belajar menghitung total harga belanja dari lima barang yang ada dalam daftar belanjaan dan menentukan kembalian yang harus mereka terima. Sedangkan untuk adik-adik kelas 5 dan 6, mereka belajar menghitung total belanjaan untuk membuat suatu makanan tradisional, sehingga mereka juga belajar perkalian dan kelipatan. Dengan cara tersebut, selain belajar dengan menyenangkan, kita juga memahamkan kepada adik-adik bahwa matematika sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Selain menjadi penanggung jawab kegiatan “Matematika Ceria”, saya juga menjadi penanggung jawab untuk kegiatan reboisasi dan outbond, tentu saja dibantu oleh rekan-rekan TSM yang lain. Kami melakukan kegiatan reboisasi di hutan dekat tempat kami mengabdi. Pohon yang kami tanam adalah puspa, pohon yang kuat bertahan dalam berbagai kondisi tanah, kontur, dan iklim. Kayu dari pohon tersebut juga kokoh dan tebal, sehingga memiliki daya tahan tinggi terhadap panas yang menjadikannya salah satu pelindung alami jika terjadi kebakaran hutan.
Sehari sebelum reboisasi, kami bersama Mas Mandon, remaja dari Desa Batur yang juga penggiat alam, melakukan survei lokasi tempat penanaman. Kami membersihkan tempat tersebut kemudian melubangi tanahnya sehingga adik-adik dapat dengan mudah menanam bibit pohon puspa. Hari esoknya adalah hari untuk melakukan reboisasi, adik-adik dengan kompak memakai sepatu dan baju olahraga, sangat menggemaskan! Sebelum berangkat, kami melakukan pemanasan dan senam bersama, kemudian memberikan pemahaman kepada adik-adik tentang pentingnya reboisasi, apa saja tujuan reboisasi, manfaat apa yang bisa didapatkan, serta mengenalkan pohon puspa yang akan kita tanam.
Perjalanan menuju lokasi tidaklah mudah. Treknya cukup terjal dan menantang, sehingga kami dibantu oleh remaja-remaja desa yang sudah terbiasa dengan jalur tersebut. Meski demikian, ternyata adik-adik sudah cukup lihai melewati jalan tersebut, mereka sangat antusias sehingga ketika tiba di lokasi mereka langsung sibuk menanam bibit pohon puspa dengan penuh semangat. Ini salah satu foto ketika adik-adik melakukan penanaman pohon, sangat lucu kan
Pada saat malam tahun baru, kami berkumpul bersama remaja-remaja desa dan tentu saja keluarga kami, Bu Anis dan Pak Anis. Di malam itu kami berkesempatan untuk mencoba pemanas ruangan yang menggunakan gas elpiji. Sebenarnya saya tidak tertarik dia menggunakan bahan bakar apa, saya hanya tertarik dengan hangatnya ruangan yang dihasilkan, hehe.
Keesokan harinya, kami menawarkan adik-adik untuk libur kegiatan. Kami berpikir bahwa mereka mungkin butuh waktu bersama keluarga untuk merayakan tahun baru. Namun, ternyata mereka justru menolak, ternyata kami saja yang ingin libur, hehe bercanda. Mereka antusias dan tetap ingin beraktivitas bersama kami. Hari itu, kami melalukan eksperimen gunung meletus dan belajar struktur gunung. Kami juga membahas fenomena alam, yakni bagaimana proses terbentuknya kawah, mengapa kawah bisa mengeluarkan air panas, serta alasan Pemandian Bithingan memiliki air yang panas. Pemandian Bithinan adalah destinasi kami untuk melakukan tadabur alam sekaligus rekreasi bersama adik-adik Desa Batur dan juga menjadi kegiatan terakhir kami selama Tarbiyah Suka Mengajar di Desa Batur, Dieng.
Segala kegiatan dan pengalaman yang luar biasa ini tidak akan terjadi tanpa dukungan banyak pihak. Saya sangat berterima kasih kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Bank BPD, keluarga Mushola Baitul Jannah, Bu Anis, Pak Anis, Mas Madon, serta warga Desa Batur lainnya. Tak lupa, terima kasih juga kepada rekan-rekan kelompok TSM ke-5, tim yang hebat dan selalu penuh semangat serta kekompakan. Pengalaman ini akan selalu menjadi bagian dari cerita hidup saya. Dingin yang menusuk berubah menjadi kehangatan berkat tawa dan kebersamaan. Sampai jumpa lagi, Batur dan TSM ke-5!